Sabtu, 09 Januari 2010

Aparat Hukum Dipersilakan Periksa Cost Recovery Migas


Aparat Hukum Dipersilakan Periksa Cost Recovery Migas


JAKARTA--MIOL: Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro mempersilakan aparat hukum memeriksa proses pencairan dana cost recovery atau biaya kegiatan eksplorasi dan produksi minyak dan gas (migas).

Hal itu diungkapkan Purnomo terkait laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mensinyalir adanya korupsi dalam dana yang dikembalikan ke kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) tersebut.

"Silakan saja diperiksa. Kalau memang ada korupsi, silakan tangkap saja," katanya seusai meresmikan program peduli energi PT PLN (Persero) di Museum Listrik, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, Sabtu (28/7).

Purnomo mengaku tidak menemukan adanya kejanggalan dalam dana cost recovery itu. Apalagi sejumlah instansi sudah melakukan audit atas pelaksanaan cost recovery tersebut.

Audit itu dilakukan mulai dari sebelum lapangan migas berproduksi yakni oleh Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), hingga pascaproduksi oleh Inspektorat Jenderal (Itjen) ESDM, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan DPR.

"Kalau ada yang korupsi, BPK bisa langsung lapor ke Kejaksaan. Kita tidak masalah," tandasnya.

Namun, ia mengingatkan, temuan BPK belum berarti terjadinya korupsi, karena harus melalui tahapan klarifikasi dahulu. "Kalau memang setelah diklarifikasi masih belum jelas, maka temuan bisa diajukan ke DPR. Selanjutnya, apabila masih belum bisa dipertanggungjawabkan, maka silahkan saja dibawa ke aparat hukum," ujarnya.

Purnomo berpendapat dugaan penyimpangan oleh BPK atau BPKP itu terjadi akibat perbedaan pemahaman, karena memang pembukuan di bisnis perminyakan berbeda.

"Pembukaan perminyakan beda. Ada deplesiasi, depresiasi dan amortisasi. Biasanya setelah ada laporan BPK, kemudian diklarifikasi, kalau tidak salah dari hasil temuan, sudah setengahnya yang diverifikasi," jelasnya.

Lebih lanjut, Purnomo mengatakan, selama ini, proses pencairan cost recovery sudah dilakukan secara transparan.

"Kita sudah transparan kok. Sebab, telah dicek BPK dan BPKP," ujarnya.

Namun, ia mengakui, banyak hal yang harus dikaji kembali dalam pelaksanaan cost recovery di antaranya mengenai pengeluaran tanggung jawab sosial korporasi (corporate social responsibility/CSR). Karenanya, saat ini pihaknya sedang mengkaji perbaikan ketentuan-ketentuan cost recovery termasuk penetapan batas atas.

Namun, untuk saat ini, ia meminta semua pihak memahami bahwa cost recovery diberikan saat KKKS masih tahap eksplorasi atau belum mendapatkan minyak atau gas. Selain itu, Purnomo berpendapat, cost recovery itu merupakan bentuk penghargaan bagi para KKKS, karena dalam melakukan eksplorasi dan produksi minyak, banyak risiko dan ketidakpastian yang harus ditanggung.

"KKKS telah keluarkan dulu dana buat eksplorasi. Baru setelah dapat minyak atau gas, baru cost recovery dibayar. Kalau tidak dapat minyak ya tidak dibayar. Itu sudah risiko mereka," katanya.

Ia menambahkan, saat ini sudah ada penurunan cost recovery dari KKKS yang memproduksi minyak dalam jumlah besar seperti Chevron. Mengenai permintaan BPK agar dilakukan amandemen atas kontrak kerja sama (KKS), Purnomo mengatakan, perubahan kontrak harus melalui kesepakatan kedua belah pihak.

"Klausul cost recovery itu masuk dalam kontrak. Sehingga, kalau mau diubah, maka harus ada kesepakatan kedua belah pihak," katanya.

Kedua belah pihak itu, lanjutnya, adalah BP Migas atau PT Pertamina (Persero) di masa lalu, dan KKKS di pihak lain, dengan pemerintah sebagai saksi.

http://www.ti.or.id/news/8/tahun/2007/bulan/07/tanggal/28/id/1687/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar