Selasa, 19 Januari 2010

Survei Seismik Tak Kunjung Sepi Polemik

Migas-Indonesia
Proses survei seismik di laut

Laporan Wartawan Tribun Kaltim, Rita

Lebih dari 90 persen lapangan minyak di Indonesia memasuki tahapan mature sehingga produksi minyak nasional mengalami penurunan sekitar 12 persen per tahun. Untuk menahan laju penurunan produksi harus dilakukan pengembangan lapangan baru--yang dimulai dengan survei seismik. Ironisnya, seismik sarat dengan polemik.

TOTAL E&P Indonesie tengah melakukan pengembangan lapangan baru di blok South East Mahakam. Blok ini dimenangkan Total pada 2007 lalu. Agustus 2008, Total memulai tahapan seismik di wilayah perairan Kalimantan Timur.

Seismik dilakukan untuk mengetahui apa saja yang terkandung di dalam perut bumi. Prosesnya dengan membuat gelombang buatan di permukaan bumi yang kemudian menjalar masuk lalu dipantulkan oleh lapisan-lapisan tanah kembali ke permukaan. Gelombang atau sinyal-sinyal pantulan ini diterima alat bernama geophone atau hydrophone, kemudian disalurkan melalui kabel khusus ke alat perekam.

Data rekaman seismik masih harus disunting, digabungkan, dan diproses untuk menampakkan penampang lapisan bumi di daerah disurvei. Dengan berbekal penampang-penampang seismik tersebut, ahli geofisika dan ahli geologi melakukan penafsiran dan pemetaan kandungan-kandungan hidrokarbon di perut bumi. "Kemudian baru menentukan lokasi pemboran untuk membuktikannya," kata Handri Ramdhani, Head of Communications Department Total E&P Indonesie, Rabu (12/11).

Survei seismik bisa dilakukan di mana saja, di darat, laut lepas, atau perpaduan darat dan laut yang biasa disebut daerah transisi. Beda tempat, tentu saja membedakan metode kegiatan. Di darat untuk mendapatkan pantulan getaran diperlukan dinamit, sedangkan di laut diperlukan alat yang disebut dengan airgun.

Dengan sistem yang baku, survei seismik diyakini tidak akan menimbulkan kerusakan. Kendati demikian polemik tetap ada. Masalah selalu membayangi operasi seismik. Mulai isu perusakan lingkungan hingga berbenturan dengan kepentingan masyarakat dan kebijakan pemerintah.

Total E&P Indonesie pun harus berhadapan dengan masalah saat akan melakukan seismik untuk blok terbarunya. Sejumlah nelayan Balikpapan menuntut Total untuk membayar ganti rugi jika seismik dilakukan. Pasalnya, banyak rumpon nelayan di jalur seismik yang akan dilakukan Total.

Rumpon adalah tempat kembang biak ikan buatan nelayan. Ia terdiri dari dedaunan, biasanya daun kelapa, yang diikat berbaris pada seuntai tali. Tali tersebut menjuntai dari permukaan hingga ke dasar laut. Pada dasar tali dipasangi pemberat dan di atas air dipasangi pelampung. Di antara dedaunan itu lah ikan yang migrasi akan berkumpul dan kadang berkembang biak. Dengan adanya rumpon, nelayan tak perlu "keliling" laut untuk mencari ikan. Cukup mendatangi rumpon miliknya dan mendapatkan hasil.

Oleh karena titik penempatannya sejalur dengan rute seismik, tak ada pilihan, rumpon nelayan harus dipotong. Konsekuensinya, perusahaan harus membayar kompensasi rumpon. Dalam kasus Total, untuk setiap rumpon yang dipotong, Total membayar Rp 17,5 juta.

"Saya sih tidak bermasalah, kan rumpon saya benar-benar ada sebelum ada rencana kegiatan seismik itu," kata Agus Mulyadi, nelayan Manggar Balikpapan, di sekretariat Aliansi Masyarakat Nelayan (AMN) Kaltim, di Jl Mulawarman, Manggar, Balikpapan, Senin (10/11). Lima rumponnya dibayar lunas Total, dengan masing-masing rumpon dibanderol Rp 17,5 juta. "Angka ini tidak ditentukan sepihak. Itu hasil kesepakatan dari Total, nelayan, dan pemerintah," ujar Denny Halim, Head of Department Societal and Land Total E&P Indonesie, Rabu (12/11).

Polemik tak habis sampai di situ. Nilai ganti rugi yang cukup besar--dibandingkan biaya pembuatan rumpon yang hanya berkisar Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta--mengundang oknum nelayan "nakal" untuk berlomba "menebar" rumpon di jalur seismik. Hal ini memaksa Total melipatgandakan anggaran ganti rugi.

"Ya. Memang ada yang baru memasang rumpon setelah mengetahui ada kegiatan seismik. Itu bisa dilihat dari letak rumponnya," tutur Mappasele, nelayan Manggar yang juga mediator konflik Total dan pemilik rumpon, di sekretariat Aliansi Masyarakat Nelayan (AMN) Kaltim, Jl Mulawarman, Manggar, Balikpapan, Senin (10/11).

Pada jalur seismik yang dikerjakan Total, ditemukan banyak rumpon yang jaraknya hanya 50 hingga 100 meter dari rumpon lainnya. Padahal, yang lazim, jarak rumpon satu dengan yang lain berkisar 500 hingga 1.000 meter. "Kalau jaraknya kurang dari 500 meter, pasti akan menyulitkan nelayan saat menangkap ikan. Kemungkinan besar yang terjaring bukan ikan melainkan rumpon-rumpon itu," ucap Mappasele.

Kantor Perikanan Balikpapan pun mengaku tak bisa berbuat apa-apa atas kasus ini. Petunjuk Departemen Kelautan dan Perikanan yang membatasi jarak antara satu rumpon dengan rumpon lain minimal 500 meter dengan kedalaman 50 meter untuk rumpon dangkal, dan 100 meter untuk rumpon dalam, tak menghalangi nelayan untuk berbuat "nakal".

"Selama ini memang tidak ada aturan yang bisa memberi sanksi," kata Amin Latif, Kepala Kantor Perikanan Balikpapan, Selasa (18/11). Amin hanya punya rencana, tahun depan ia akan mendata rumpon dan titik koordinat keberadaannya. Amin pun tidak mempermasalahkan keberadaan rumpon-rumpon yang berjarak tidak wajar tersebut. "Itu kan bisa saja terbawa arus," kata Amin.

Pernyataan Amin bertolak belakang dengan apa yang diutarakan Mappasele dan Agus. Menurut keduanya, rumpon memiliki spesifikasi agar tak terbawa arus. "Percuma kalau terbawa arus, tidak akan ada ikannya. Agar tidak terbawa arus, rumpon itu harus dibandoli hingga lima karung batu, tali rangkap dua, sehingga tidak mudah terbawa arus dan putus. Semua nelayan rumpon tahu itu," ucap Mappasele.

Polemik rumpon versus seismik terjadi sejak beberapa tahun belakangan. "Setiap ada kegiatan seismik dari perusahaan manapun pasti berpolemik soal rumpon. Di Tarakan juga begitu," kata Mappasele.

Perusahaan migas pun kerap menjadi serba salah dengan kondisi ini. "Kami kan berupaya untuk transparan dengan cara mengumumkan, mengundang pemerintah dan masyarakat terkait mengenai rencana kegiatan kami. Tapi di sisi lain transparansi tersebut justru jadi peluang bagi oknum yang tidak bertanggungjawab dengan memanfaatkan kesempatan ini untuk menebar rumpon dalam jumlah yang tidak wajar. Hal ini juga diperparah dengan lemahnya penegakan hukum (law enforcement) terhadap tindakan yang dilakukan oleh oknum-oknum tersebut," kata Denny .

Soal ganti rugi bagi Total memang tak masalah, selama itu memang benar-benar ada dan layak. "Ini kan kegiatan pemerintah juga. Jangan hanya dilihat sebagai kegiatan investor semata. Kalau ada biaya-biaya lain yang seharusnya tidak perlu dikeluarkan, yang rugi juga pemerintah," tutur Denny.

Selain dihadapkan dengan kepentingan hajat hidup nelayan, seismik di laut juga dipastikan menemui kendala jika dilakukan di wilayah lalulintas laut yang sibuk. Pada saat melakukan operasi survei, biasanya kapal seismik dikawal oleh kapal kecil yang bisa dimanfaatkan selain untuk menyingkirkan halangan-halangan yang berada di jalur kapal, juga untuk pengawal pembuka jalan. "Pada survei seismik Agustus lalu, kami pun menggunakan jasa nelayan setempat untuk memandu kapal kami. Sekadar memberi tahu teman-teman nelayan lainnya agar tak melintas sementara waktu karena ada kegiatan seismik," ucap Denny.

Larangan itu bukan menandakan bahwa kegiatan itu berbahaya. Tapi untuk menjaga kelancaran proses survei. "Karena getarannya jalan terus, direkam terus. Nanti kalau kapalnya berhenti akan merusak bentangan kabel airgun dan memengaruhi hasil rekaman," tutur Handri.

Agar kegiatan seismik lancar, sebelum melakukan kegiatan, Total terlebih dahulu melakukan sosialisasi dengan melibatkan instansi-instansi seperti Bapedalda, Adpel, Lanal, Kantor Perikanan, Dinas Pertambangan dan Energi, hingga ke level kecamatan, dan masyarakat sekitar lokasi.

Kelancaran seismik berpengaruh pada kelangsungan industri minyak. Sebab seismik merupakan langkah awal pengembangan lapangan baru atas temuan eksplorasi, yang merupakan satu dari tiga cara optimalisasi produksi minyak. Dua lainnya yakni pemboran infill, work over, dan maintenance serta pengembangan lanjut lapangan yang ada dengan cara Enhanced Oil Recovery (EOR) seperti waterflood, steam flood, chemical flood, dan lain-lain.

Menurut BP Migas, tiga langkah di atas perlu dilakukan sebab selama 10 tahun terakhir produksi minyak di lapangan yang ada terus mengalami penurunan. Pada 1999 produksi minyak masih mencapai 1,453 juta barrel per hari. Di 2009 angka ini hanya tersisa 377 ribu barrel per hari

Ketiga usaha tersebut pun hanya diharapkan mampu menahan laju penurunan produksi menjadi lima persen per tahun. Bukan itu saja, dari 344 blok yang ditandatangani sepanjang 1961 hingga 2007, hanya 67 blok atau 19 persen saja yang berproduksi. "Saat ini kondisi lapangan minyak di Indonesia sudah mature atau menopause," kata Agus Suryono seraya tertawa, Kepala BPMIGAS Perwakilan Kalimantan & Sulawesi dalam workshop, Senin (17/11).

Tak terbantahkan, dengan memerhatikan deposit sumber daya alam serta kebutuhan generasi sekarang, seismik berikut pembukaan ladang minyak baru masih akan dilakukan. Selama belum ada pelaksanaan hukum yang maksimal polemik pun akan tetap ada. Belajar dari setiap kegiatan seismik, seharusnya ada sinergi antara investor, pemerintah, dan masyarakat, sehingga kendala dan polemik serupa tak terulang di kegiatan yang sama baik oleh investor yang sama maupun yang lainnya. (*)

http://www.tribunkaltim.co.id/read/artikel/14580

Tidak ada komentar:

Posting Komentar