Sabtu, 09 Januari 2010

Penyediaan BBM Nasional, Masalah Besar Menghadang


Penyediaan BBM Nasional, Masalah Besar Menghadang
Hanan Nugroho (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional)

"Berdarah-darahnya" Pertamina karena kesulitan likuiditas untuk membeli minyak yang harganya melonjak tinggi dan subsidi BBM yang menggelembung merepotkan DPR/pemerintah. Kelangkaan minyak tanah yang terjadi di banyak tempat (Teropong Kompas, 28/5) adalah contoh dari masalah pengadaan BBM di Tanah Air saat ini. Masalah yang lebih rumit barangkali mulai terjadi tahun depan ketika manajemen penyediaan BBM nasional yang selama ini telah dibangun akan mengalami perubahan.

KEWAJIBAN Pertamina untuk menyediakan BBM nasional akan berakhir tahun 2005. Ketentuan itu sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) (Bab XII Ketentuan Peralihan, Pasal 62). Sesuai amanat UU No 22/2001 pula, Pertamina melalui PP No 31/2003 telah diubah statusnya menjadi perusahaan perseroan (persero). Fungsi Pertamina semula sebagai "pemerintah, pengatur, dan pemain atau pelaku usaha" diubah menjadi "pemain" saja. UU No 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dengan tegas mengemukakan bahwa tujuan pendirian perusahaan persero adalah untuk "mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan" (Pasal 12, Ayat b); bukan menjalankan fungsi sosial.

Landasan hukum di atas cukup kuat bagi Pertamina untuk-mulai tahun depan-menghindarkan bisnis atau penugasan yang mengakibatkannya tidak dapat menjalankan fungsi sebagai perusahaan persero yang harus mencetak laba. Bisnis menyediakan BBM di Tanah Air, bila scheme-nya harus membuat Pertamina "berdarah-darah" bisa dipastikan tak akan lagi diminati BUMN ini. Meskipun hal itu selama lebih dari 3 dekade telah dilakukannya dengan baik sebagai penugasan negara.

Di masa datang Pertamina akan memprioritaskan bisnis yang lebih menjanjikan laba, seperti pengusahaan gas bumi, LNG, LPG, refining, penjualan produk minyak dan petrokimia.

Beberapa kendala

Infrastruktur industri hilir migas yang dibangun di Indonesia didominasi oleh Pertamina, nyaris dengan pola monopoli. Untuk pengadaan BBM, Pertamina menguasai seluruh ranting kegiatan: pengilangan (refinery), transmisi (pipa, tanker), dan penyimpanan (depot, tangki penyimpanan), dibantu Hiswana Migas (Himpunan Swasta Nasional Minyak dan Gas) khususnya untuk distribusi.

Semangat liberalisasi hilir UU Migas No 22/2001 adalah menjadikan industri hilir migas Indonesia lebih terbuka bagi persaingan. Struktur industri yang semula terintegrasi vertikal (vertically integrated) dan didominasi oleh Pertamina "dipecah-pecah" (unbundled) ke dalam beberapa segmen. Usaha pengilangan, penyimpanan, ekspor-impor, dan transportasi BBM dibuka untuk perusahaan swasta, termasuk asing. Sistem baru pengadaan BBM nasional akan diperkenalkan, melibatkan perusahaan lama dan baru, di bawah koordinasi Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).

Indonesia, dengan konsumsi BBM melebihi 60 miliar liter per tahun (2003), merupakan pasar besar yang telah lama dilirik investor. Permintaan BBM yang besar dan tumbuh cepat, serta dorongan liberalisasi hilir oleh UU Migas No 22/2001 membuat bisnis penyediaan BBM di Tanah Air menjanjikan masa depan cerah. Namun, sejumlah kendala membatasi.

Kendala utama adalah harga yang rendah. Selama harga BBM di dalam negeri masih jauh di bawah harga minyak mentah internasional (plus biaya pengilangan dan transportasinya), maka investor tidak merasa memiliki insentif untuk melakukan usaha di bidang BBM. Kemungkinan, mereka akan menyiasati kebijakan harga BBM itu dengan terlebih dahulu melakukan usaha di bidang bahan bakar yang harganya tidak diatur oleh pemerintah, misalnya Pertamax Plus atau bensin berkualitas lebih tinggi. Investasi untuk minyak tanah (yang pasarnya di Indonesia cukup besar) akan dihindari.

Kendala berikutnya adalah infrastruktur BBM (pengilangan, transmisi, penyimpanan, dan distribusi) yang kondisinya masih minim atau langka dibandingkan dengan potensi permintaan BBM di Tanah Air. Pembangunan infrastruktur BBM selain membutuhkan biaya mahal, waktunya panjang, juga butuh kejelasan master plan pembangunan infrastruktur yang mesti disiapkan oleh pemerintah. Hal ini, seperti juga penciptaan insentif investasi di bidang pembangunan infrastruktur hilir minyak dan gas bumi pasca UU No 22/2001 Migas belum dilakukan baik.

Kendala lain adalah ketidakpastian regulasi yang membuat investor ragu dan bersikap "tunggu dan lihat".

Kesiapan institusi

Berakhirnya penugasan kepada Pertamina dan diberlakukannya sistem baru penyediaan BBM nasional akan menimbulkan kejutan atau ketidakstabilan. Seberapa jauh hal ini telah diantisipasi?

Menyusul penerbitan UU No 22/2001, Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dibentuk dengan PP No 42/2002. Badan ini merupakan "pindahan" dari unit koordinasi kontraktor asing di Pertamina. Badan ini dikritik karena perannya yang sangat birokratis di tengah produksi minyak Indonesia yang terus menurun, sedangkan biaya produksinya meningkat (Kurtubi: Indonesia, Net Oil Importer, Kompas, 27/5).

BPH Migas juga dibentuk dengan PP No 67/2002. BPH Migas akan berperan sangat vital karena kewenangannya mengatur dan menetapkan ketersediaan dan distribusi BBM, cadangan BBM nasional, dan pemanfaatan fasilitas pengangkutan dan penyimpanan BBM (UU Migas No 22/2001, Pasal 46). Saat ini BPH Migas belum beroperasi penuh karena penyiapan organisasinya yang tersendat-sendat.

Di samping pembentukan BP Migas, BPH Migas, dan pengalihan status Pertamina, PP sangat penting yang dibutuhkan untuk menjalankan UU Migas adalah PP Hulu (mengatur kegiatan hulu) dan PP Hilir. Kedua PP ini belum diterbitkan. Tanpa diterbitkannya PP Hilir, penyediaan BBM-mulai tahun depan-akan mengandung ketidakjelasan dan ketidakpastian yang sangat besar.

Waktu tidak banyak lagi untuk menyiapkan sistem penyediaan BBM nasional sesuai dengan skenario UU Migas No 22/2001. Kita tidak berharap bahwa suatu ketika penyediaan BBM nasional itu akan berkembang menjadi masalah yang besar. Kekhawatiran ini muncul karena faktanya adalah pekerjaan untuk menyiapkan sistem baru penyediaan BBM nasional tersebut harus diakui berjalan lamban.

Keputusan politik macam apa lagi yang akan diumumkan pemerintah untuk mengantisipasi masalah penyediaan BBM nasional pasca-UU Migas No 22/2001 ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar