Minggu, 17 Januari 2010

Gangguan Industri Migas dan Peranan BP Migas

Gangguan Industri Migas dan Peranan BP Migas
Oleh Sumarsono *

FAKTOR keamanan hingga saat ini masih menjadi perhatian serius para calon investor, khususnya yang bergerak di sektor perminyakan dan gas (migas). Hal ini terkait dengan mahalnya biaya investasi dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi industri migas.

BERBAGAI persoalan memang sering muncul di lingkungan industri migas, sehingga mengakibatkan terganggunya aktivitas eksplorasi dan eskploitasi. Meskipun pemerintah, dalam hal ini Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) senantiasa memberikan jaminan keamanan, kenyataan investor masih sering menghadapi gangguan keamanan di wilayah operasi mereka.

Tak jarang jika gangguan keamanan muncul, investor seolah seperti berada di tanah tak bertuan dan tidak memiliki kepastian hukum. Kegiatan operasional pun langsung berhenti jika muncul sabotase atau aksi pemblokiran yang dilakukan segelintir masyarakat dengan berbagai alasan. Akibatnya, investasi atau kegiatan industri migas menjadi sia-sia. Biaya operasional melonjak, dan terget produksi sulit tercapai. Lebih jauh lagi, penerimaan negara pun secara otomatis akan terkena imbasnya.

Data BP Migas menyebutkan sejak 1997 hingga 2007, produksi minyak mentah mengalami penurunan, meski pada 2008 produksi minyak kembali meningkat. Penurunan produksi minyak di Indonesia ini secara alamiah mayoritas disebabkan karena lapangan minyak sudah memasuki tahap mature dan mengalami laju penurunan produksi kurang lebih 12 persen per tahun.

Produksi minyak pada 1997 menyentuh angka hampir 1.600.000 BOPD. Dari tahun ke tahun terus menurun, dan pada 2007 mencapai angka 964.400 BPOD. Namun secara perlahan seiring dengan ditemukannya beberapa sumur baru, mulai 2008 sudah ada tanda-tanda peningkatan, yakni naik menjadi 977.200 BPOD.

Kenyamanan para investor dalam melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas sangat tergantung peran pemerintah. Jika pemerintah berhasil menegakkan hukum dan undang-undang sesuai ketentuan yang berlaku, mungkin gangguan eksternal di lingkungan migas tidak akan pernah ada. Masyarakat akan tunduk dan patuh pada hukum. Penegakan hukum membuat orang takut dan menimbulkan efek jera sehingga gangguan keamanan bagi investor pun dapat diminimalisir. Penyampaian aspirasi atau tuntutan akan dilakukan sesuai aturan yang berlaku tanpa merugikan investor.

Gangguan keamanan eksternal sering muncul akibat sejumlah permasalahan yang terkait tuntutan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat agar mereka memperoleh pendapatan dari kegiatan investasi migas secara transparan. Tuntutan ini tak hanya berpotensi menjadi hambatan, tetapi juga ancaman bagi kelangsungan investasi sektor migas. Sering kali tuntutan ini dituangkan dalam bentuk demonstrasi dan pemblokiran yang berujung pada penghentian aktivitas eksplorasi maupun ekspolitasi migas.

Ada beberapa contoh kasus konflik antara pemerintah daerah, masyarakat dan pihak perusahaan migas. Di Gresik, Jawa Timur misalnya, tuntutan Pemerintah Kabupaten Gresik terhadap pembangunan sistem pemipaan Hess, karena dinilai menyalahi aturan. Akhirnya pembangunan pemipaan pun diminta dihentikan. Pemkab Gresik minta agar Hess menerapkan Perda No. 19 Tahun 2002 tentang Pelabuhan Umum yang notabene merupakan salah satu perda yang ditolak Departemen Dalam Negeri. BP Migas turun tangan membantu penyelesaian kasus penghentian ini. Sinyal positif diberikan DPRD Gresik dengan kembali memberikan izin pembangunan pipa tersebut.

Di Indramayu, Jawa Barat untuk memperoleh pendapatan dari sektor kegiatan pengelolaan migas, Pemkab Indramayu menerapkan perda mengenai pajak bagi setiap kegiatan pengelolaan migas. Perda yang dibuat Pemkab Indramayu tersebut akhirnya dibatalkan Menteri Dalam Negeri pada Maret 2003. Tidak ada undang-undang yang mengatur tentang daerah pengelola migas mendapatkan bagian hanya karena di daerahnya terdapat kilang minyak. Meskipun pemda setempat mengajukan gangguan lingkungan atau munculnya risiko keamanan terhadap daerah sebagai alasan.

Hal ini juga pernah diwacanakan Pemkot Balikpapan dan Bontang, Kalimantan Timur. Kota Balikpapan sebagai daerah pengolahan minyak dan Kota Bontang, tempat pengolahan gas mendesak pemerintah pusat mengalokasikan dana bagi hasil migas sebagai cost risiko. Keberadaan kilang minyak Pertamina UP V dan pengolahan gas PT Badak NGL memiliki risiko besar bagi masyarakat di sekitarnya. Tidak ada salahnya jika pemerintah pusat mengalokasi dana bagi daerah tempat kilang.

Kasus lain di Kaltim, Pemkab Penajam Paser Utara mengancam akan melakukan gugatan class action terhadap Chevron Indonesia Companye. Pemkab PPU menilai kontribusi yang diberikan Chevron terlalu kecil dibanding penghasil selama beroperasi di PPU. Ada kesan bahwa keberadaan Chevron di PPU belum bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar daerah operasi Chevron.

BP Migas pun tak lepas tangan. Difasilitasi Polda Kaltim, BP Migas dan Chevron menjelaskan masalah kontribusi Chevron ke PPU. Menurut Manager Policy Government and Public Affair Chevron Indonesia Company Suta Vijaya, melalui program comdev (pemberdayaan masyarakat) sudah banyak yang dilakukan Chevron. Program pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui dana bergulir, pelayanan kesehatan kerja sama dengan Rumah Sakit Pertamina Balikpapan, pembangunan sekolah unggulan, dan program-program lain yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat PPU.

Pertengahan Oktober 2008, ratusan nelayan Manggar, Balikpapan Timur melakukan aksi demo menuntut Total E&P Indonesie membayar ganti rugi rumpon yang terkena jalur seismik. Tidak tanggung-tanggung nelayan meminta ganti rugi Rp 15 juta per rumpon. Difasilitasi DPRD Balikpapan, akhirnya perwakilan nelayan dan pihak Total mencapai kesepakatan. Total bersedia memberikan kompensasi kepada nelayan senilai Rp 5 juta per rumpon yang sudah terdata.

BP Migas mencatat ada beberapa kendala yang mengganggu kegiatan industri migas, antara lain:
1. Kehandalan fasilitas produksi menurun, karena sebagian besar sudah berumur 15-20 tahun.
2. Ketidakpastian penerapan perpajakan (bea masuk dan pajak pertambahan nilai/PPn impor).
3. Koordinasi antarinstansi yang belum berjalan baik.
4. Prosedur perizinan dengan instansi terkait (Departemen Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Pemerintah Daerah).
5. Sering terjadi gangguan kamtibmas terhadap instalasi dan operasi kegiatan migas.
6. Tumpang tindih kepemilikan lahan yang hingga saat ini masih sering terjadi.
7. Pembebasan lahan dengan masyarakat untuk lokasi pengeboran dan fasilitas produksi.
8. Kalah prioritas dibandingkan dengan pemboran pengembangan atau produksi.
9. Harga dan ketersediaan rig serta kapal survey seismi, dan
10. Terlalu banyak kepentingan sekunder daerah yang dimasukkan dalam program kegiatan pengembangan lapangan. (Sumber: Pemaparan BP Migas)

Kerja Sama Pengamanan
Menyadari pentingnya usaha hulu migas yang memiliki arti strategis bagi negara dalam menunjang pendapatan, BP Migas melakukan kerja sama dengan Polri untuk menjaga keamanan daerah hulu migas di darat. Penandatanganan nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) kerja sama guna menjamin keamanan investasi tersebut dilakukan pada 25 Mei 2003. Kerja sama ini ditindaklanjuti hingga tingkat BP Migas di daerah dengan Polda untuk pengamanan wilayah operasi industry migas di daerah masing-masing.

Selain itu untuk meningkatkan pengamanan fasilitas produksi migas di lepas pantai, 11 Mei 2005 BP Migas juga menandatangani MoU kerja sama dengan TNI Angkatan Laut. Melalui kerja sama ini akan memberikan jaminan kepada investor yang melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi lepas pantai di wilayah perairan Indonesia. Bagi BP Migas kegiatan operasi hulu migas di daerah lepas pantai merupakan salah satu bagian penting dari kegiatan industri migas Indonesia. Hingga saat ini ribuan fasilitas operasi hulu migas berada di daerah lepas pantai.

Kontribusi kegiatan hulu migas di lepas pantai sangat penting bagi pendapatan negara. Apalagi sebagian daerah lepas pantai di Indonesia terutama di wilayah Indonesia bagian Timur, termasuk Kaltim belum banyak dieksplorasi dan eksploitasi potensi minyaknya cukup besar. Wajar jika fasilitas kegiatan hulu migas di lepas pantai diangap proyek vital yang perlu dilindungi negara. Di Kaltim sendiri, sebagian besar kegiatan eksplorasi dan esploitasi migas yang dilakukan beberapa perusahaan migas seperti Total E&P Indonesie, Chevron dan Vico berada di daerah lepas pantai.

Gangguan keamanan yang sering terjadi di lepas pantai antara lain, pencurian alat operasional, pendudukan fasilitas perminyakan (terutama rig), pelanggaran batas pengambilan ikan oleh nelayan di sekitar operasi, dan ancaman teror. Gangguan ini bukan saja menghambat kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, tetapi juga mengancam keselamatan kerja.

Berdasarkan catatan BP Migas situasi keamanan di wilayah di lepas pantai maupun darat selama 2005-2006 lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya. Meski demikian terkadang masih muncul gangguan berupa pencurian peralatan fasilitas produksi migas dan gangguan yang terkait masalah ketenaga kerjaan. Tahun 2005, tercatat 519 kasus gangguan terkait masalah ketenagaan kerjaan, kasus pencurian alat operasional 407 kasus diikuti aksi blokade area operasi 66 kasus dan aksi unjuk rasa tenaga kerja pemogokan 36 kasus. (*)

http://www.tribunkaltim.co.id/read/artikel/13929

Tidak ada komentar:

Posting Komentar