Minggu, 03 Januari 2010

MANAJEMEN PERMINYAKAN DAN GAS (MIGAS) INDONESIA

Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (migas) merupakan salah satu andalan Indonesia dalam membangun ekonomi. Begitu pentingnya kedudukan migas, sehingga pengaturannya pun khusus diadakan tersendiri oleh Pemerintah. Industri ini memiliki kekhususan bukan hanya pada penguasaan wilayah pertambangannya saja tetapi juga pengusahaannya hanya menjadi kekuasaan Negara.

Sebelum tahun 1960 pengaturan masalah migas masih tergabung dengan masalah pertambangan umum. Akan tetapi, sejak tahun 1960 dengan keluarnya Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Minyak dan Gas Bumi, pengaturan masalah migas menjadi tersendiri. Pengaturan bahwa migas menjadi kekuasaan Negara disebutkan secara tegas dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 sebagai berikut: “Segala bahan galian minyak dan gas bumi yang ada di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh Negara”.

Berdasarkan penguasaan oleh Negara tersebutlah kemudian ditegaskan bahwa migas hanya diusahakan oleh perusahaan Negara. Hal itu tertuang dalam Pasal 3 Ayat (2) “Usaha pertambangan minyak dan gas bumi hanya diusahakan oleh Negara semata-mata”. Alasan yang mendasari mengapa migas dikuasai oleh Negara dan diusahakan hanya oleh perusahaan Negara berdasarkan dalam penjelasan umum atas Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 Angka 3 adalah: “Bahan galian minyak dan gas bumi bukan saja mempunyai sifat-sifat khusus, ...penting bagi hajat hidup orang banyak dan pertahanan nasional. ...bahwa pengusahaan minyak dan gas bumi hanya dapat diselenggarakan oleh Negara...”.

Oleh karena itu, Negara mendirikan Perusahaan Negara (PN) yang khusus untuk mengusahakan pertambangan migas dengan nama PN Pertamina berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1968. Peraturan Pemerintah ini kemudian diganti oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 dan berdasarkan Undang-undang tersebut pula PN Pertamina hanya disebut Pertamina sampai sekarang. Ini merupakan landasan hukum mengapa Pertamina yang berhak atas pertambangan migas.

Berdasarkan kuasa Negara atas bahan tambang migas, ditetapkan Wilayah Kuasa Pertambangan dari Pertamina yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1969 tentang penyediaan Wilayah Kuasa Pertambangan kepada PN Pertamina, yang pada Pasal (1) disebutkan: “
Kepada PN Pertamina …disediakan seluruh Wilayah Kuasa Pertambangan Indonesia sepanjang mengenai pertambangan minyak dan gas bumi”. Pasal (1) tersebut lebih diperjelas lagi dalam Pasal (2) yang berbunyi: “Wilayah Kuasa Pertambangan termaksud pada Pasal 1 Peraturan Pemerintah ini meliputi wilayah daratan dan wilayah dasar laut serta tanah dibawahnya…”.

Walaupun berdasarkan Pasal 11 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 Pertamina sebagai pemegang kuasa pertambangan atas seluruh wilayah pertambangan migas di Indonesia, akan tetapi karena keterbatasan modal dan teknologi, dimungkinkan oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 untuk mengadakan kerjasama dengan pihak lain atau pihak swasta. Bentuk kerjasama dengan pihak lain ini disebut dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 yang menjelaskan bahwa perusahaan dapat mengadakan kerjasama dengan pihak lain dalam bentuk Kontrak Bagi Hasil atau Production Sharing Contract (PSC). Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi serta Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, kewenangan Pertamina tersebut telah dialihkan kepada BP MIGAS.

Production Sharing Contract di Indonesia memiliki banyak karakteristik khusus, terutama dalam aspek perpajakannya yang erat kaitannya dengan penerimaan Negara. Studi Daniel Johnston (2002: 67) yang tertuang dalam Petroleum Tax Design menjelaskan bahwa: “Indonesia was the first country to offer PSAs. Second, they have been one of the most active countries with regard to this contract form not only in Asia but worldwide. Third, a large number of FOCs have at one stage or other been involved in oil operations in Indonesia. Finally, individual Indonesian PSAs are based on model contracts. The three generations of contracts so far enable us to analyse how the contracts have adapted to changing circumstances.

Selain itu, Johnston menjabarkan berbagai macam metode dan cara yang dapat digunakan oleh suatu Negara dalam pengelolaan migas yang dimilikinya serta dampaknya terhadap penerimaan Negara. Johnston juga memberikan ciri-ciri karakteristik finansial dalam sebuah kontrak dalam industri migas. Pembahasan tersebut banyak menyinggung mengenai tingkat kepentingan sebuah Negara dalam kontrak migasnya terutama aspek perpajakannya. Namun, penelitian tersebut hanya menyinggung secara umum mengenai aspek perpajakan dalam industri migas, padahal untuk setiap Negara memiliki karakteristik kontrak migas yang berbeda-beda. Sebelumnya, terdapat juga dalam studi tentang ekonomi migas yang dilakukan Kirsten Bindemann (1999) dengan judul
Production-Sharing Agreements: An Economic Analysis. Bindemann menelaah secara lebih luas lagi mengenai PSC tetapi hanya dalam tataran analisis ekonomi secara keseluruhan. Kesimpulan yang dipaparkan pada kedua penelitian tersebut dapat dijadikan bahan yang sangat berguna dan acuan dalam analisis terhadap aspek perpajakan PSC di Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar