Kamis, 07 Januari 2010

Perminyakan Indonesia, dari OPEC ke OGEC




Perminyakan Indonesia, dari OPEC ke OGEC


KENYATAAN bahwa pada akhirnya Indonesia menjadi net oil importer menunjukkan bahwa kondisi perminyakan kita begitu runyam setelah dibangun selama kurang lebih empat dekade. Lalu apa yang perlu kita lakukan? Untuk menjawab pertanyaan sederhana itu, marilah kita mengkaji seberapa besar sum- ber daya perminyakan, baik yang berupa minyak ataupun lainnya yang masih kita miliki.

Pada pertengahan dekade 1980-an, para ahli anggota Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) menyatakan bahwa di wilayah kedaulatan Indonesia terdapat enam puluh cekungan geologi yang secara potensial mengandung sumber daya hidrokarbon. Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian dan studi geologi, sebuah cabang ilmu kebumian (geosciences) yang dipergunakan untuk menguak rahasia cadangan sumber daya hidrokarbon potensial.

Usaha untuk menemukan dan memproduksikan cadangan minyak atau gas, dari sumber daya potensial tersebut telah dilakukan pada sekitar 90 persen cekungan yang ada. Masih tersisa beberapa cekungan geologi yang belum tergarap karena kurang menarik secara komersial, atau terletak di laut dalam yang masih sulit dioperasikan dengan menggunakan teknologi masa kini. Misalnya, kawasan Samudera Hindia, Palung Laut Maluku, dan Laut Sulawesi Utara.

Cekungan geologi yang ternyata mengandung cadangan minyak dan gas yang dapat diproduksikan secara komersial, hingga kini berjumlah 12 cekungan, di antaranya cekungan Sumatera Utara, Sumatera Tengah, Sumatera Selatan, Jawa Barat dan Kalimantan Timur.

Selama ini kita mengenal lapangan-lapangan produksi: Arun, Minas, Arjuna, Attaka dan lain-lainnya adalah lapangan produksi yang terletak di dalam cekungan-cekungan tersebut. Dalam 48 cekungan lainnya, tidak di temukan cadangan komersial atau bahkan tidak mengandung hidrokarbon sama sekali.

Dibanding dengan cekungan geologi di negara-negara Timur Tengah, jelas bahwa cekungan kita kalah subur. Hal itu berarti bahwa banyaknya jumlah cekungan belum menjamin tersedianya produksi dan pasokan minyak atau gas.

Faktor yang lebih menentukan di dalam usaha produksi minyak atau gas adalah seberapa besar cadangan hidrokarbon yang diketemukan dapat diproduksikan secara komersial, menggunakan teknologi masa kini. Selebihnya adalah sebuah harapan yang masih memerlukan kebijakan yang tepat dan investasi besar-besaran.

Sejak lapangan Minas yang mengandung sekitar 2 miliar barel minyak di produksikan awal tahun 1960-an, lapangan-lapangan Arun, Handil, Arjuna, Attaka, di era 1970-an hingga kini belum terdengar lagi lapangan produksi baru yang mengandung cadangan minyak yang cukup berarti. Harapan produksi baru sebenarnya masih tersisa di penemuan gas Tangguh (Papua) yang masih menunggu pasar. Penemuan minyak dan gas di Cepu (Jawa Tengah) yang masih terkendala masalah birokrasi, dan penemuan gas Natuna Timur (Riau Kepulauan) yang masih terbentur masalah teknologi dan pasar.

Usaha Perminyakan

Sesungguhnya, usaha perminyakan di Indonesia selama ini berkembang berkat diterima nya konsepsi "bagi hasil produksi" atau production sharing agreement oleh masyarakat perminyakan internasional, bukan karena modal sendiri.

Investasi modal asing melalui PSC dari awal 1960-an hingga tahun 2002 mencapai sekitar US$ 75 miliar, dengan puncak produksi minyak sekitar 1,6 juta bopd (barel oil per day) di dekade 1980-an, yang kini berada sekitar 1 juta bopd, dan produksi gas komersial kurang lebih 2 bcf (miliar kaki kubik) per hari.

Sejauh kehidupan kita masih memerlukan bahan bakar minyak (BBM) yang konsumsinya saat ini mencapai sekitar 1,1 juta bopd, dan meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, peningkatan perekonomian nasional dan lain-lainnya, maka kita harus menyediakan kebutuhan itu baik dari impor maupun dari produksi sendiri.

Pertanyaannya memang, mampukah kita mempertahankan produksi minyak selama diperlukan?

Untuk dapat mempertahankan produksi yang ada saja, setidak tidaknya kita memerlukan investasi, khusus untuk perminyakan antara US$ 3 miliar hingga US$ 5 miliar setiap tahun.

Melihat kemampuan APBN dan pelaku ekonomi nasional termasuk swasta dan Pertamina, sulit dibayangkan kita memiliki dana sebesar itu untuk investasi dalam usaha perminyakan yang berisiko tinggi. Artinya kita masih harus "berkolaborasi" dengan modal asing untuk sekadar mempertahankan produksi.

Tetapi kalau dewasa ini pemilik modal mengambil posisi wait and see karena ketidak pastian kebijakan, birokrasi, dan kerangka peraturan dan perundang-undangan yang tidak menarik, maka bisa diduga produksi minyak nasional di dalam waktu kurang dari 2-3 tahun mendatang, tidak akan dapat bertahan pada tingkat bahkan 1 juta bopd sekalipun. Apalagi untuk jangka waktu 10 tahun mendatang. Oleh karena memproduksi kan minyak dari dalam perut bumi, memerlukan tenggang waktu antara 2-3 tahun sejak dari penemuan (kalau ada) hingga phase produksi. Itupun apabila kepastian berusaha dan perhitungan laba-rugi sebagai daya tarik investasi cukup kompetitif.

Ketidakpastian berusaha di sektor perminyakan di Indonesia dewasa ini, memang sungguh tinggi. Tampaknya sudah saatnya ketidakpastian yang ditimbulkan oleh pelaku, institusi yang ada, dan kerangka kebijakan yang tidak jelas, perlu dirombak seluruhnya. Sebab bila tidak, dikhawatirkan Indonesia tidak pantas lagi menjadi anggota OPEC, karena kini sudah menjadi net oil importer. Barangkali akan lebih pantas bila Indonesia menjadi anggota OGEC, Organization of Gas Exporting Countries, karena memang dewasa ini kita masih pengekspor gas terbesar di dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar